ia menoleh ke kiri sebentar, lalu menoleh ke kanan, lalu menunduk sambil memasukkan tangannya ke kantong celana. diambilnya sebungkus rokok yang dibeli di perjalanan menuju kantor tadi pagi.
ia berjongkok di antara mobil-mobil yang terparkir tidak beraturan, membakar batang pertamanya setelah sarapan bubur jagung dan segelas susu kambing dingin serta setangkup roti isi selai nangka buatannya sendiri.
ia senang berada di sana, tidak banyak orang lalu-lalang, ia tidak pernah suka keramaian. bukan berarti ia tidak bisa berada di dalam sebuah pesta atau kemeriahan lainnya, ia hanya tidak suka terlalu lama berada di suasana yang riuh. kepalanya mudah sekali terisi oleh hal-hal yang tidak perlu dipikirkan.
pernah suatu hari saat ia diundang ke sebuah pesta pernikahan rekan sekantornya. pesta intim dengan tidak lebih dari seratus tamu yang hadir. di antara orang-orang yang ia kenal, tidak seorangpun yang mengajaknya bicara, hanya anggukan kepala, gelas yang diangkat, sapaan kecil dan tatapan mata yang ia dapatkan.
tapi itu tidak membuatnya kecil hati, karena memang orang-orang itu tahu betul tabiatnya. mereka tidak akan mendapat nilai lebih dari apapun basa-basi yang keluar dari mulutnya. dan lagi pula ia tidak akan merasa kesepian karena ia tidak akan bertahan lama di dalam pesta.
betul saja, hanya tiga puluh menit ia mampu bertahan di antara kerumunan orang, musik syahdu, dan kepungan meja penuh kudapan dan berbagai macam minuman. setelah itu ia pulang kembali ke kamarnya. tempat paling nyaman yang pernah ia ketahui.
(222/365)