[TIGA]
Aku beranjak dari kursiku dan langsung menuju pintu depan.
Bagaikan anak kecil yang dibolehkan ibunya mandi hujan, kamu harus tahu betapa gembiranya aku bisa kembali melihatmu. Kamu terlihat kian bersahaja. Rambutmu dipotong pendek sekarang. Cantik. Kamu selalu cantik. Frame hitam sekarang mulai menghiasi matamu. Mata yang tak mungkin bosan kupandangi. Kamu kurusan, bisa kulihat tulang pipimu yang makin nampak. Tapi kamu terlihat segar. Kamu seperti baru.
Kujabat tanganmu yang kamu sambut dengan tarikan halus dan mengarahkan pipimu ke pipiku. Sedikit kucium harum pipimu, maaf tapi aku tak kuasa. Kamu terlalu istimewa untuk diabaikan.
Lalu duduklah kita berhadapan, saling melontarkan senyum termanis yang kita punya.
“Apa kabar, kamu?” pertanyaan pembuka darimu. Standar saja rupanya, tapi tak apa, aku tak punya ekspektasi apapun di sini.
“Aku? Seperti yang kamu lihat sendiri. Tidak kurang suatu apapun. Makin gemuk malah.” Jawabku sambil memegangi perut untuk mempertegas bahwa aku memang gemukan. “Kamu sendiri? Apa kabar?”
Kamu terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaanku. Sedikit menarik napas, dan merapikan kacamatamu, lalu dengan suaramu yang tegas kamu menjawab “Aku juga baik-baik saja, meskipun seperti yang kamu lihat, sepertinya aku kurusan. Entah kenapa, mungkin terlalu sibuk bekerja. Tapi aku olahraga, kok. Nih, lihat.” Katamu sembari menunjukkan otot bisepmu yang tidak seberapa itu.
Aku tersenyum.
Kamu pun tersenyum.
Lalu kita menghabiskan waktu bercerita tentang apa yang terjadi selama ini. Apa saja yang terlewati, apa saja yang kita temukan, apapun.
Masih seperti dulu, kamu selalu bersemangat dalam apapun. Kamu yang apinya tak pernah sekalipun kulihat padam. Mungkin pernah sesekali meredup, tapi dengan mudah kamu kobarkan lagi. Seakan lupa kalau kita sudah lama tak bertemu, bahkan untuk sekadar bertukar pesan. Teknologi yang memotong jarak, mendobrak ruang, teknologi yang tidak sama sekali merepotkan tidak membuat kita tergoda untuk saling bercakap. Semua atas nama komitmen.
Ya. Aku ingat hari itu, hari di mana kamu memutuskan untuk pergi dari kota ini. Hari di mana aku bersikeras untuk menahanmu, tapi tidak juga bisa kamu hiraukan. Aku tahu kamu tidak akan dengan mudah berubah pikiran. Semua keputusanmu ini pastilah sudah melewati banyak sekali pertimbangan yang mengharuskan kamu untuk tetap pergi.
Aku mengalah, aku tidak mungkin menghalangimu.
Dan kupikir ini hanya jarak. Tapi ternyata tidak.
Kamu membuat persyaratan yang amat berat. Kamu tidak ingin ada kontak sama sekali di antara kita. Ini tidak adil kubilang. Tapi ini kamu. Kamu adalah perempuan paling teguh yang pernah aku kenal. Perempuan paling logis yang aku tahu. Dan perempuan mandiri paling berani yang aku hormati.
Di balik keputusanmu, ada kecewa yang masih aku simpan. Tapi aku tidak bisa egois, aku tidak bisa memaksakan keinginanku dan mengubur mimpimu. Maka, di hari itu kita memutuskan untuk berpisah. Dengan baik-baik saja.
Aku tahu aku pernah bilang tidak ada perpisahan yang baik-baik saja, justru karena ada yang tidak baik-baik, makanya pisah. Tapi aku jilat ludahku. Ini adalah perpisahan paling adil dan ideal bagiku. Bagimu. Bagi kita.
Ini sudah gelas ketiga. Kita sudah bicara banyak. Tapi aku masih menyimpan tanda tanya yang belum aku keluarkan. Sekarang saatnya.
“Ngomong-ngomong, kenapa sekarang? Ada apa?”
Dan kamu terdiam. Seperti menunggu sesuatu. Tapi kulihat sesuatu di raut mukamu. Sesuatu yang tidak bisa aku tebak. Sesuatu yang belum bisa aku bayangkan. Tapi aku ingat. Itu adalah sesuatu yang pernah aku lihat.
———————————————————-
つづく
(16/365)