kumatikan rokok dengan membantingnya ke arah tembok. menghasilkan pijar bara yang tak beraturan tersembur dari ujung puntung yang belum terbakar habis. itu adalah yang terakhir malam ini. saat amunisi sudah tiada, yang boleh kamu lakukan adalah berbalik arah menuju rumah.
menjadi pengendara motor berarti kamu harus bersedia repot untuk mengenakan jaket tebal, sarung tangan, masker mulut, dan earphone yang menyumbat erat di lubang telingamu. jangan mengeluh karena repot. bersyukurlah karena kamu masih bisa tenang dalam kerepotanmu.
aku atur napas sebelum bergerak, memastikan seluruh oksigen baru yang kuhirup terdistribusi dengan lancar lewat aliran darah dan degup jantung yang selaras. kuambil ponsel dari kantong celana sebelah kiri dan membuka pemutar musik. kumainkan playlist yang sudah kususun rapi berisi lagu-lagu yang aku hafal liriknya. berkendara sendirian di malam hari, kamu tak mau terganggu oleh suara-suara lain yang mampu memecah konsentrasimu. hanya lagu yang berputar di telinga, mulut yang menggumamkan lirik seadanya, dan deru mesin yang samar terdengar.
dalam perjalanan isi kepalaku teraduk, akal sehat dan logika sedang beradu dengan hati dan perasaan. saling memaki dan menunjukkan diri sebagai siapa juru bicara yang paling pantas atas diriku.
seperti orang tolol yang terjebak dalam diskusi hebat, aku hanya bisa terdiam melihat mereka saling melempar argumen, saling memberi asumsi, diiringi sumpah serapah dan caci maki tanda tidak sepakat di antara mereka.
sebagai pecundang yang tak punya kuasa, aku hanya bisa menunggu sampai salah satu dari mereka terkapar kehabisan energi, atau malah mereka mungkin akan menemukan satu posisi tawar yang cukup baik sehingga mereka bisa kembali berdamai dan tak membuat mukaku bagai orang linglung.
sampai tiba di tujuan, mereka belum selesai berdebat. kepalaku terasa sesak, rasanya ingin muntah, aku inggin mengalihkan pikiran ke arah lain. tapi terlambat. mereka sudah berkata “ini belum selesai. kita tunda sampai lusa.”