ujung lorong itu tidak berubah sejak sembilan tahun lalu kutinggal pergi. masih gelap dan lembab.
aku tidak berniat mampir. kebetulan saja lewat dan teringat sesuatu.
aku meraba tembok kusam penuh lumut dengan cat tembok yang mulai mengelupas dan coretan asal dari cat semprot murah berwarna hijau terang.
badai sudah selesai dari satu jam lalu tapi rintik air masih intens turun dari langit. seperti air seni laki-laki, kau pikir sudah habis tapi sialnya masih tersisa sedikit. proses alamiah yang tidak bisa ditebak.
aku bersandar di dinding yang kupikir tidak terlalu kotor. kuambil kertas papir dari kantong belakang celanaku dan sebungkus tembakau dengan aroma jambu air dari kantong kemejaku.
sejumput besar tembakau kuratakan di atas kertas papir ukuran besar. sengaja kubuat dengan takaran jumbo karena aku malas membuat beberapa linting kecil. dan lagipula melinting manual bukan perkara mudah. perlu kemampuan khusus untuk menggulung tembakau dengan tingkat kepadatan yang sempurna dan ukuran besar ke kecil yang sesuai.
lima menit aku kerepotan, akhirnya gulungan rokokku selesai, kunyalakan lintingan terbaik yang aku bisa dari korek api kayu yang sebelumnya aku kocok dulu untuk memastikan apakah isinya masih ada.
aroma jambu air yang tidak terlalu kuat dipaksa kalah oleh aroma melati dan cengkeh yang tercampur apik dalam racikan tembakau yang aku dapat dari kawanku setelah ia pulang pelesir ke ujung timur pulau jawa.
embusan asap mengepul tebal di ujung lorong tengah malam bulan februari. Ingatan makin jelas dan semakin kuat. aku harus pulang cepat.
jakarta, 14 februari dini hari, belum bisa tidur