matahari dengan penuh semangat menusuk kulit dengan sinarnya. pelan-pelan ia susuri jalan setapak menuju rumah yang ia tinggalkan berpuluh purnama lamanya. ada romantika dalam setiap langkah kaki yang menyeret berat, seolah di kedua pundaknya berdiri tegak masalah yang tak kunjung hilang.
ia tidak ingin pulang, tapi ia juga tidak ingin hilang.
matahari masih dengan pijaran panasnya, tanpa peduli awan-awan kecil berlarian mengelilingi setiap jengkal merahnya. ia masih terus berjalan dengan mata berair dan bibir yang kering mengelupas, belum seteguk air sempat ia reguk.
tiga langkah sebelum pintu rumah, dari belakangnya terdengar suara parau berkata “sudah waktunya.”
ia lalu menghentikan langkahnya, mengambil badik dari sarung di pinggangnya. dan dengan sekali tusuk, jantungnya berhenti mendadak.
(201/365)