Photo by Dyaa Eldin on Unsplash
mataku baru setengah terbuka ketika sinar matahari lamat-lamat merayap dari balik tirai kamar. cahaya redup yang beradu dengan bulir gerimis yang bersenggolan ramai dengan dahan-dahan pohon dan berakhir di aspal jalanan kota sepi ini.
kupastikan untuk tidak terlambat bangun dengan melihat jam di ponsel yang kuletakkan di samping kepalaku. alarm sudah berbunyi tapi tidak kusadari. aku kalah sepuluh menit darinya. sial. di sini aku tak pernah menang melawan alarm.
kutegakkan punggung dan mengusap wajahku yang berkeringat tipis. kalau saja kamu bisa lihat, mungkin wajahku seperti gorengan yang baru diangkat dari wajan. penuh minyak dan tak keruan. padahal suhu kamarku cukup dingin untuk menghambat laju keringat dari tubuhku. mungkin memang lelah kupikir.
samar-samar masih kuingat mimpi terakhir yang terputar di tidurku semalam. pelan-pelan terbayang dan sayup-sayup terdengar semua yang disuguhkan alam bawah sadarku. tentangmu, tentangku, tentang kita.
pernah satu kali aku bercerita padamu tentang satu bab mimpi yang paling sering muncul. seolah memberi peringatan. seakan memberi catatan. akan sebuah kegagalan yang berulang. bab mimpi yang beberapa kali hadir dan menyampaikan tanda. mimpi yang mencuri dengar apa yang hati bisikkan pada logika. mimpi yang dengan kurang ajar memupuskan harapan. mimpi yang dengan keras kepala membawakan gundah tanpa belas kasihan.
mimpi itu datang lagi semalam. bersamaan dengan obrolan yang kamu hiraukan. berbarengan dengan bara yang berangsur padam.
mimpi yang enggan kutangkap. tapi tetap terperangkap.
(117/365)