segelas hujan di penghujung hari.
kita duduk berdua saja di temaram beranda sore yang sendu. kamu baru saja meletakkan buku dan kaca matamu. kopi panas yang baru saja kuseduh masih mengepulkan asapnya. kamu selalu serius dengan bukumu, dan aku selalu serius menatap wajahmu.
kita duduk berdua saja. hujan baru saja reda, tidak berisik, hanya rintik sedari tadi. dan hening dengan tenangnya berbisik menemani pertemuan kita.
tidak banyak kata sore itu. hanya angin, suara lembar buku yang kamu balik, dan seruputan teh manis dari sela bibirmu. kita baru bicara setelah kamu selesai dengan urusan bukumu.
“kenapa rindu selalu terburu-buru?” katamu.
“bukan buru-buru, rindu memang tak pernah mengenal waktu.” jawabku.
lalu kamu menghela napas dan berkata “aku selalu khawatir rinduku datang di saat yang tidak tepat.”
lalu aku sahuti dengan “bukan waktunya yang tidak tepat. tapi memang rindu itu keparat.”
kamu meraih gelas kopiku dan dengan pelan meniupnya beberapa kali sebelum menyeruputnya, lalu menyodorkannya padaku. kuterima dan dengan otomatis langsung menyeruputnya juga. selanjutnya kuletakkan gelas kopi di sebelahmu.
“kenapa kamu suka kopi pahit?” tanyamu.
“karena pahit mengajarkanku tentang hidup dan pengharapan. pahit mengajarkanku untuk siap menghadapi manis yang tak kunjung singgah. lagi pula manis membuatmu lengah, menjadikanmu lalai akan sisi hidup yang lebih sering terlihat.” jawabku.
kamu memalingkan pandanganmu dari wajahku, sehingga aku melihat jelas lesung pipimu yang tak pernah aku hiraukan.
lalu gelas kopiku kau sesap habis.
(28/365)