Monolog

“alkohol lagi?”

“kenapa?”

“memang kau perlu mabuk?”

“aku mengonsumsi alkohol bukan untuk mabuk.”

“lalu?”

“sekadar penghilang penat saja.”

“tidak ada cara lain?”

“ada.”

“apa?”

“bercinta.”

“sulit.”

“maka dari itu.”

“carilah penghilang penat lain.”

“ini sudah yang paling mudah. tolong jangan kau persulit.”

“sebulan saja, kan?”

“iya, sebulan ini saja. setelah itu aku coba cari cara lain.”

“terserah kau saja. aku hanya mengingatkan.”

“terima kasih perhatianmu.”

“ngomong-ngomong, bagaimana kondisimu?”

“kau kan sudah tahu.”

“tidak ada pergerakan lagi?”

“kurasa sudah selesai.”

“anti-klimaks.”

“ya, aku pun merasa demikian.”

“mau mencoba lagi?”

“tak perlu.”

“mungkin kau masih penasaran.”

“sempat.”

“lalu?”

“ya, sudah. biarkan saja berlalu.”

“kau itu. mudah sekali putus asa.”

“aku hanya bersikap realistis saja. sudah berapa kali kau lihat mimpi yang kugantung tinggi itu jatuh dan hancur berserakan?”

“ya, aku ingat beberapa. kadang aku yang memungutinya.”

“harusnya kau tahu kan bedanya putus asa dan berputar balik?”

“berputar balik atau hanya berputar-putar di tempat?”

“jangan memulai, kawan.”

“woow, chill out, dude.”

“kau tahu kita punya cara yang berbeda menghadapi bermacam situasi. aku berharap bisa sesantai kau.”

“cobalah.”

“sudah.”

“berhasil?”

“pernah.”

“lalu?”

“lalu kembali lagi.”

“butuh proses, bung. tidak secepat yang kau pikir.”

“apa yang kurang?”

“kau hanya sedikit kurang yakin.”

“padahal aku sudah yakin.”

“itu menurutmu.”

“memang standar kita beda?”

“kupikir begitu.”

“bantulah.”

“kapan aku tak membantumu.”

“sekarang.”

“bisa diatur. sini, tuang alkoholmu.”

One thought on “Monolog

What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s