gerimis belum juga reda sejak sore tadi. genangan air di sepanjang jalan raya tidak menyurutkan hasrat muda-mudi untuk berkumpul di tempat gemerlap yang penuh dengan lampu berwarna-warni. suara musik bergema dari dalam bangunan kecil namun penuh sesak dengan puluhan orang berdansa gelisah.
di ujung jalan berkerumun mereka yang berseragam serba merah. saling bercakap diiringi sayup suara dari bangunan tidak jauh dari sana. satu dari mereka mengeluarkan seplastik tembakau, satu lagi merogoh kantung kemejanya dan mengambil kertas papir berwarna coklat tua. satu lagi sudah siap dengan korek api di tangannya.
masih sambil berbincang, satu dari mereka dengan cekatan meracik bahan baku yang sudah dikeluarkan dan merakit empat batang gulungan tembakau dengan hati-hati. lima menit berselang, masing-masing dari mereka sudah sibuk mengembuskan asap dan melepehkan tembakau yang tersangkut di lidah mereka.
satu orang datang menghampiri mereka, lalu berbicara mengenai sesuatu. gerombolan berseragam merah saling menatap satu sama lain, seakan bertukar kode, berusaha mencari kesepakatan. dengan raut muka yang menunjukkan kekecewaan, orang itu pergi meninggalkan mereka.
Setelah menghisap dalam-dalam lintingan tembakaunya, satu dari gerombolan merah itu berkata “mereka pikir kita sudah kehilangan harga diri sampai mau menerima jiwa yang sudah membusuk itu.”
dan sayup-sayup terdengar “sialan, iblis jaman sekarang sudah mulai jual mahal!”
(235/365)