aku bawakan sebuah tulisan. tentang kematian di ujung jalan. di sebuah kota kecil bernama keengganan. saat matahari dan bulan sedang berselisih, perkara siapa yang lebih sering dinantikan.
aku kemas ranting kering. dari setapak jalan hutan kecil di tengah kota, di mana hijau tak kunjung tiba dan embusan angin tak pernah menerpa.
aku kirimkan nisan. untuk mata yang tak pernah saling menatap, bibir yang tak pernah saling berpagut, dan jemari yang tak pernah berpaut.
apabila keinginan adalah omong kosong yang disimpulkan, maka perkara kebutuhan adalah serupa jodoh, harta, rezeki dan maut; hanya tuhan yang tahu kapan datangnya.
(194/365)