Tiga Batang Sebelum Tidur

keluar kamar mandi dengan hanya mengenakan boxer garis-garis hitam putih, rustam mengeringkan rambutnya dengan enggan. sesungguhnya ia malas sekali keramas, tapi ia harus. karena sudah tiga hari belakangan ini kepalanya sama sekali tidak terkena air. kusut, berminyak, dan sudah tidak keruan bentuknya.

 

sambil terus menggosok-gosok kepalanya, rustam menyalakan kompor listrik barunya, memanaskan air untuk membuat segelas kopi dan memasak makan malam untuknya sendiri. ia tidak sedang menunggu siapapun mampir ke kamarnya, maka hanya satu gelas kopi yang ia buat. biasanya satu dua temannya akan mampir untuk sekadar berbincang menghabiskan sisa malam. tapi tidak malam ini. pertama karena ia sedang tidak ingin berbicara banyak. kedua, stok kopinya sudah menipis. teman-temannya selalu datang dengan tangan kosong dan mulut yang penuh ocehan, sehingga ia yang harus menyiapkan segala macam tetek bengek minuman dan kudapan untuk menemani mereka bercerita.

 

rustam masuk ke kamar mandi lagi untuk menggantung handuk yang sudah cukup basah dengan air dari kepalanya, rambutnya sendiri masih belum kering benar, tapi ia sudah lelah menggosok-gosok kepalanya. ia perlu belaian lain selain tangannya sendiri di kepalanya. ia selalu berkhayal akan ada seseorang yang dengan senang hati mengacak-acak rambutnya yang memang tidak pernah rapi.

 

rustam mengenakan lagi baju yang seharian sudah ia pakai untuk berkegiatan, ia tidak merasa perlu untuk mengambil baju baru dari lemarinya yang tidak begitu penuh. ia juga mengenakan jaket hitam kesayangannya, jaket dari band matius tiga ayat dua, yang sudah beberapa bulan belum juga ia cuci.

 

rustam menuju balkon kamarnya sambil membawa gelas kopi dan sebungkus rokok yang sisa tiga batang di dalamnya. batas waktu yang ia buat sendiri untuk malam ini. tiga batang rokok, setelah itu pergi tidur.

 

batang pertamanya adalah rindu yang ia kenal betul. rindu yang belum sempat terpuaskan. rindu yang berjarak. rindu yang keras kepala. rindu yang selalu hadir tanpa pernah lalai.

 

ia sesap kopi panas yang kini sudah menghangat. udara malam terlalu dingin untuk segelas rindu katanya.

 

batang keduanya adalah harapan yang pelan-pelan ingin ia letakkan di dalam tanah yang belum sempat ia gali. dengan tujuan saat ia menimbunnya, ia masih dapat melihat gundukkannya dan bisa mengingat dengan jelas di mana ia menguburkannya. sampai saatnya nanti ia akan mengunjunginya kembali dan mungkin mengambilnya lagi.

 

rustam lalu meneguk gelas kopinya yang mulai dingin. sedingin harapan yang lambat laun membeku dan mengeras, dan mungkin sebentar lagi remuk.

 

batang ketiganya, batang terakhir malam ini. adalah kenyataan bahwa sebenarnya sudah tidak ada lagi yang perlu ia perjuangkan. sudah tidak ada lagi harapan yang tersisa di sana. dan kenyataan bahwa rindu yang ia punya sebaiknya ia simpan saja untuk lain waktu.

 

rustam menenggak habis sisa kopi di gelasnya. dadanya sudah berdebar terlalu kencang akibat kombinasi kafein dan nikotin yang terlalu banyak ia konsumsi.

 

ia bergegas menuju ranjang dan merebahkan punggungnya di atas kasur tanpa selimut. memandang langit-langit kamarnya yang lamat-lamat meredup. ia memutar sebuah lagu untuk menemaninya tidur, sebuah simfoni ringan yang ia harap dapat membawa mimpi yang tidak memberatkan hidupnya besok pagi.

 

(143/365)

What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s