Ia dan Perempuan Itu

ia terduduk di tepi ranjang dengan penisnya yang masih terbungkus kondom. sebatang rokok tersulut di sudut bibirnya membiarkan tenggorokannya terpapar racun-racun yang ia persilakan masuk dengan perlahan.

perempuan itu sibuk memainkan ponselnya, melihat beberapa pesan masuk, menjawab beberapa pertanyaan yang datang, dan sesekali tertawa sendiri.

ia masih berusaha menghabiskan rokoknya sambil membersihkan sisa hajat yang baru saja dituntaskan. tidak lama, hanya beberapa menit saja ia dan perempuan itu bergumul, setelah satu jam sebelumnya mereka saling bertukar cerita.

tidak, bukan bertukar cerita, melainkan ia hanya mendengarkan semua keluh kesah si perempuan itu.

menjadi pendengar.

itu yang sanggup ia lakukan selama ini. berusaha menjadi pendengar yang baik. berusaha menjadi pemberi solusi yang mumpuni. meskipun ia tahu ia hanya bisa menahan segala perasaannya.

ia dan perempuan itu sudah saling berpakaian, bersandang dan mulai saling memandang. dan kembali keluh kesah dan segala permasalahan dengan lancar keluar dari mulut perempuan itu. ia hanya bisa menyampaikan respon-respon kecil sebagai bukti bahwa ia memperhatikan semua pembicaraan perempuan itu. meskipun ia tahu itu adalah basa-basi belaka. setelah ini pun mereka tak akan bertemu kembali. pun tak akan mereka bertegur apabila berpapasan di suatu tempat.

ia terus mendengarkan dengan seksama semua kalimat yang keluar dari mulut perempuan itu. dan merespon pembicaraan ala kadarnya. isi kepalanya sudah terlalu penuh dengan hal-hal lain yang menyempitkan jalan pikirannya. seolah-olah masalah di hatinya menyeruak hingga ke sela-sela lajur otaknya dan mengepung logikanya.

ia terlalu lelah memikirkan gadis pujaannya, ia terlalu lelah mencari celah mana lagi yang harus ia tuju untuk mencapai hati gadis pujaannya. ia terlalu lelah untuk tahu bahwa faktanya adalah ia tidak punya harapan untuk itu. entah ia harus lanjutkan, atau berhenti saja di sini.

perempuan itu masih saja bercerita dengan bersemangat, sedangkan ia sudah enggan menanggapinya. otaknya sudah perlu dievakuasi ke tempat yang lebih aman. terlalu berbahaya untuk dibiarkan berada di tengah-tengah medan perang.

bayangan soal gadis pujaannya tak pernah mau pergi. selalu ingin singgah dan tak peduli belas kasihan.

ah, sial.

sudah jam 3 pagi, ia harus segera pulang.

perempuan itu masih saja terus bercerita. ia menyumpal telinganya dengan earphone dan segera berlalu keluar kamar.

malam ini masih belum berhasil menghilangkan bayang-bayang sang gadis pujaan dari kepalanya.

(68/365)

What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s