+1

Sebuah Epilog. 

“Aku merasa caramu melihatku mulai berbeda. Entah apa, hanya kamu yang tahu. Aku merasa, kamu menyembunyikan sesuatu, Menilaiku atau apapun itu.”


“Aku merasa caramu menghadapiku berubah, entah lelah atau jengah. Kamu kerap bicara, bertahan atau pergi. Bila kamu tak kuat lagi, aku tak akan menghalangi.”


“Silakan pergi, tapi aku tak bisa punya teman yang tega membiarkanku sendiri, 
Ohh.. Tapi aku lupa, aku juga sudah biasa dikhianati.”


“Terima kasih. Telah mengurangiku dalam rasa bersalah. Untuk menjaga diriku satu langkah. Untuk tetap mengingatkanku, bahwa prinsipku tidak salah.”


“Terima kasih, kamu telah menggenapkan semua alasan yang ada.
Paling tidak, alasanku bukanlah rasa atau selera atau tipe ideal, tapi perintah agama.”


“Kita bisa saja berpegangan tangan, tapi bukan bersama yang di khayalan. Kita bisa saja bicara cinta, tapi untuk apa bila akhirnya luka. Jangan.”

kalimat-kalimat di atas adalah apa yang aku tangkap selama ini. aku cerna semuanya. aku tak bisa menyanggahnya. persepsimu tak mungkin aku ubah hanya dengan tulisan. semua kembali padamu. 

aku hanyalah rencana terburuk yang tuhan persembahkan. aku hanyalah juru kunci dalam klasemen ligamu, berharap bertahan atau menuju zona degradasi. aku hanyalah sulur yang merambat di luar tungkai semestamu.

tapi aku tak ingin jadi pilihan ganda. aku ingin jadi esai, yang kau urai dengan suka cita. 

What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s