aku duduk di sudut kamar,
ditemani gelas kopi yang lama diabaikan,
asbak penuh puntung kenangan,
dan bayangan diri yang menatap tajam dari cermin buram.
di luar, hujan menggedor jendela,
seperti penggeledahan yang tak diundang,
mengingatkanku pada tanah yang dirampas,
dan mereka yang tertinggal di antara baris puisi yang tak selesai.
aku menyulut amarah pada sebatang rokok,
asapnya melayang di udara tanpa perintah,
menggambar wajah-wajah yang pernah singgah,
lalu pergi tanpa pamit.
hidup ini, pikirku,
seperti meja yang berantakan,
penuh dengan remeh-temeh,
dan noda kopi yang mengering.
aku tertawa kecil,
mengingat betapa kerasnya aku dulu,
mencari makna di balik setiap kata,
padahal kadang, hidup hanya tentang bertahan,
dan menemukan keindahan di tengah kekacauan.
malam kian larut,
aku menutup buku harian yang belum rampung kutulis,
merebahkan diri di ranjang yang dingin,
dan membiarkan mimpi membawaku,
ke tempat di mana puisi dan kenyataan,
berdansa dalam simfoni yang tak lazim.
